Minggu, 31 Oktober 2010

Tugas Etika Bisnis

Cengkeh


Jatuhnya taraf kehidupan para petani cengkeh di berbagai sentra industri sulit dipungkiri secra dominant merupakan dampak penerapan tata niaga cengkeh nasional yang pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC). Atau lebih khusus lagi, petani cengkeh menjadi korban tarik menarik kepentingan antara Negara (baca : pemerintah) dan BPPC dengan pabrik rokok (swasta). Ide, diterapkannya tata niaga cengkeh, harus kita akui : mulia. Karena awalnya tata niaga cengkeh ini memang dimaksudkan untuk mendongkrak kesejahteraan petani yang berposisi lemah, karenanya mempunyai bargaining power yang rendah terhadap pabrik rokok, dengan memanfaatkan monopoli oleh Negara seperti disyarakatkan oleh UUD 1945.
Namun, penyerahan monopoli dari Negara kepada swasta (BPPC) kendati datang dengan harga yang lebih “tinggi” dari harga pasar, ternyata dalam implementasinya lebih mengedepankan kepentingan bisnis BPPC sembari memperkuat kontrol pemerintah terhadap pabrik rokok. Dan karena BPPC mensubkontrak-kan lagi pelaksanaan monopoli dilapangan, mata rantai tata niaga semakin panjang. Padahal, panjang atau pendeknya mata rantai itu berpengaruh atas besar kecilnya “biaya distribusi” yang harus dikeluarkan. Dengan demikian, mata rantai yang panjang secara logis tidak mampu menghubungkan antara produsen dan konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya.
Rupanya untuk menutup biaya distribusi yang harus dikeluarkan ditambah dengan kepentingan oknum anggota BPPC yang masih menyimpan stok besar untuk di lempar ke pasar, maka diberlakukan “perhitungan ekonomis” (cost and benefit structure) pengusaha swasta. Yaitu, menekan harga pembelian dari petani hingga serendah-rendahnya (memang patokan harga beli yang diumumkan, tinngi, tetapi sebagian dari harga tersebut “wajib ditabung”) dean mendorong harga jual pada pembeli (pabrik rokok) hingga setinggi-tingginya. Petani tidak mempunyai pilihan. Mereka harus menjual cengkehnya pada “pedagang” yang ditunjuk oleh BPPC sebagai perpanjang tangannya. Karena, menjual pada pedagang bebas “diharamkan”. Bagi pabrik rokok yang membeli cengkeh tidak dari BPPC pun dapat dikenakan tindakan hukum.
Kondisi itu semakin parah ketika pihak-pihak yang menjadi perpanjang tangan BPPC ternyata tidak banyak berinisiatif untuk menekan biaya distribusi. Sedangkan KUD acap tidak siap dengan dana untuk mengadakan pembelian dengan harga patokan BPPC. Tetapi anggota BPPC yang bukan petani, tetapi memang dari sebelum berdirinya BPPC, pedagang cengkeh swasta, bisa melemparkan sisa stoknya yang besar dengan harga patokan tinggi, tanpa harus “wajib menabung” seperti petani, sehingga oknum-oknum tersebut menerima pembayaran dengan keuntungan yang besar, karena floor price yang tinggi tadi.
Dalam suatu proses produksi, dimana harga jual ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar, akan mendorong para petani untuk memperluas kebun cengkehnya dan belum menanam cengkeh akan menanamnya, karena teriming oleh selisih harga yang besar. Akibat logisnya adalah : suplai cengkeh jauh diatas permintaan. Dan dengan sendirinya : harga cengkeh “melorot” turun.
Pada gilirannya, langkah bisnis tersebut merupakan pemaksaan kehendak pada orang lain. Karena, penetapan harga atau kebijakan lainya (termasuk pemusnahan sebagian tanaman cengkeh) nyaris tidak pernah melalui proses musyawarah demi menjujung tingginya kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan. Prinsip keadilan terhadap sesamanya juga tak tercermin dalam langkah bisnis ini. Demikian dengan penghormatan pada hak orang lain seperti diisyaratkan oleh nilai keadilan sosial dalam Pancasila.
Dalam kerangka demikian, niat tata niaga cengkeh yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup petani tidak tercapai. Bahkan, berlakulah bisnis yang bertentangan dengan etika bisnis yang mestinya berlaku secara universal. Yakni, wajah bisnis yang serakah dan tamak (greed and avarice), melulu mengejar keuntungan, materialistis serta selalu terlibat dalam berbagai praktek korupsi.

Sumber : Rosita S. Noer, 1998, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar