Minggu, 31 Oktober 2010

Etika Bisnis

Bajakan



Pakaian bermerek tapi bajakan begitu menjamur. Gengsi telah mempertanyakan keberadaannya.
Hanya dengan uang Rp 1 juta pembeli bisa membawa pulang setengah lusin pakaian keren, dari kemeja Calvin Klein hingga jins Giorgio Armani.
Menurut Azhar, sebagai remaja berduit pas-pasan tapi ingin tampil gaya, pemecahannya ya memburu merek bajakan. Motivasinya, sekedar ingin memenuhi kebutuhan tampil gaya, mengikuti tren yang sedang in. Karena tak akan dipakai untuk jangka waktu lama, maka tak ada alasan baginya untuk membeli merek asli.
Tak ada kompromi untuk barang bajakan. Begitulah sikap Samuel Mulia pengamat mode kondang itu. “Itu pemalsuaan.” tutur dia keras. “ Lalu, apa bedanya dengan pencurian?
Ia justru heran, mengapa Negara mengakomodasi para pemalsu. Suburnya FOFO, yang notabene menjajakan barang tiruan, adalah keabsurdan itu.
Ia juga tak yakin maraknya barang tiruan ditujukan untuk mengakomodasi kelas menengah ke bawah agar tetap mampu memiliki produk branded. Ada cerita soal tas keren merek Ernest.
Tas merek ini harga aslinya mencapai belasan juta rupiah. Sementara barang bajakannya 3-5 juta. “Toh produk bajakannya tetap laku keras. Padahal 3-5 juta kan tidak murah. Jadi tidak betul kalau produk bajakan untuk memperlebar ruang penetrasi konsumen menengah kebawah. Intinya orang ingin beli merek.” Kata Samuel
Kecenderungan membeli barang bajakan ini juga dinilai anah. “Kamu ingin dianggap kaya oleh orang lain lewat barang bermerek yang kamu beli. Padahal kamu tidak benar-benar kaya. Ini kan menipu diri sendiri,” tutur dia.
Ia juga percaya jika ada perusahaan fashion ternama yang sengaja membikin produk kelas dua, yang ditujukan agar masyarakat kelas menengah kebawah dapat pula membelinya. Yang ada, kata Samuel adalah diversifikasi.
Contohnya jins Armani asli, yang kalau dirupiahkan harganya bisa puluhan juta. Untuk menekan harga, produsen Armani sengaja meluncurkan produk yang lebih mild, dalam label Emporio Armani atau Black Label. Keduanya lebih murah, namun seratus persen produk asli Armani, meski kualitasnya sedikit berbeda. Atau Donna Karan, yang merilis produk DKNY sebagai diversifikasinya.
Sumber : Harian Republika, 9 September 2006, hal 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar