Jumat, 26 November 2010

Tanggung Jawab

KERTAS

Kuatnya pertalian antara pengusaha suatu sektor produksi hingga bisa melakukan praktek bisnis menyerupai kartel juga terjadi di lingkungan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI). Dalam kerangka demikian, apki dapat “mematok“ harga dan menentukan volume produk yang di lempar ke pasaran menurut kesepakatan di antara anggotanya, tanpa memperdulikan kondisi permintaan pasar.

Faktor strategis kertas sebagai komponen penting dalam pendidikan masyarakat tampaknya menduduki peringkat ke sekian dalam pertimbangan untuk menjalankan bisnis ini. Salah satu buktinya adalah naiknya harga kertas hampair setiap tahun yang berpengaruh secara langsung terhadap naiknya harga jual buku maupun media cetak. Pada gilirannya, kenaikan harga itu harus ditanggung oleh masyarakat luas yang kini mulai menganggap pendidikan dan informasi sebagai salah satu kebutuhan pokok.

Prinsip tenggang rasa terhadap kepentingan masyarakat luas merupakan bagian dari semangat profesionalisme yang menjungjung tinggi nilai-nilai etika. Tanpa adanya keinginan memahami lebih jauh lagi kepentingannya kertas sebagai produk budaya yang berperan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945. Bila harga bahan bacaan (antara lain buku, majalah dan koran) terus membubung lebih tinggi dibanding peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, tentu saja upaya memasyarakatkan budaya gemar membaca sangat sulit dilakukan. Karena, bagaimanapun, minat baca yang tinggi harus pula diimbangi oleh tersedianya sarana bahan bacaan dengan harga yang terjangkau.

Sementara itu, para produsen kertas juga bertanggung jawab terhadap merosotnya kualitas lingkungan hidup akibat limbah proses produksi pulp. Tidak dilaksanakannya pengelolaan limbah yang memenuhi syarat merupakan penyebab hancurnya ekosistem di beberapa daerah aliran sungai yang sangat mengganggu kehidupan masyarakat di sekitarnya. Bila dibiarkan, dalam jangka waktu panjang, limbah di sepanjang aliran sungai itu akan menumpuk menjadi racun yang merugikan dan membahayakan kelangsungan kehidupan masyarakat umum di sekitarnya.

Sumber : Rosita S. Noer, 1998, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Coca Cola

KOMITMEN PADA LINGKUNGAN

Manajemen Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja





Bisnis kami tak lain adalah menghadirkan saat-saat menyegarkan yang unik dan memuaskan konsumen. Kami sangat terpacu untuk melahirkan semangat serupa terhadap usaha-usaha kami yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja. Ini berarti, upaya berkesinambungan untuk menggali cara-cara baru dan lebih baik untuk meningkatakan kinerja kami di bidang pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja. Sebelum membuang limbah ke sungai, kami mengolah limbah sehingga tidak merusak biota sungai.

Kami menyadari bahwa masalah yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan pengertian kami terhadap masalah-masalah tersebut yang juga berkembang dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, kami mengembangkan suatu sistem komprehensif yang mengacu pada standar internasional, termasuk di dalamnya ISO 14001, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Semua pabrik melaksanakan audit secara berkala dan menjalankan praktek-praktek terbaik di bidang perlindungan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja - mulai dari pengelolaan dan pemanfaatan kembali limbah produksi hingga berbagai program kesehatan dan keselamatan kerja.

Selain senantiasa berupaya meraih kepuasan dengan melakukan hal-hal yang terbaik, tanggung-jawab kami juga tertuju pada masyarakat Indonesia yang kehidupannya kami sentuh setiap hari. Tanggung jawab tersebut meliputi komitmen dalam menjalankan usaha dengan cara-cara yang menjaga kelestarian lingkungan dan menunjang kesehatan dan keselamatan kerja karyawan-karyawan kami di tempat kerja.

KEBIJAKAN LINGKUNGAN

PT Coca-Cola Bottling Indonesia memiliki komitmen untuk senantiasa memahami, mencegah dan memperkecil setiap dampak buruk terhadap lingkungan sehubungan dengan kegiatan produksi minuman ringan, serta terus berupaya memberikan pelayanan dan produk berkualitas yang diharapkan konsumen maupun pelanggan, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi seluruh karyawan.

Kita yakin bahwa seluruh karyawan PT Coca-Cola Botting Indonesia dan setiap orang yang tergabung di dalam perusahaan, serta semua mitra kerjanya, bersama-sama memainkan peranan penting dalam menerapkan kebijakan Perusahaan di bidang perlindungan lingkungan ini. Untuk itulah maka kita berupaya membekali para karyawan agar mampu melibatkan diri mereka sepenuhnya.

Kami akan:


  • berusaha sebaik mungkin mencapai kinerja di bidang perlindungan lingkungan dengan memenuhi persyaratan dari The Coca-Cola Company dan Peraturan Perundangan yang berlaku;

  • senantiasa memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam menyusun Business Plan (Perencanaan Bisnis) untuk memastikan bahwa pengelolaan masalah lingkungan selalu menjadi bagian yang integral dari Operasi Perusahaan;

  • menerapkan dan mempertahankan sistem manajemen lingkungan terprogram, serta terus menerus menyempurnakan dan meninjaunya agar senantiasa sejalan dengan operasi perusahaan;

  • mendorong dan membekali karyawan agar mampu mengenali, memahami dan bertindak pada setiap peluang yang ada untuk mencegah dan memperkecil setiap dampak negatif yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan;

  • mengembangkan dan menerapkan cara-cara meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya, termasuk energi, bahan kimia, air, kemasan dan bahan baku lainnya;

  • medapat mungkin mencegah, mengurangi, menggunakan kembali dan mengolah semua limbah yang ditimbulkan di dalam area kita sendiri, serta menjamin prosedur pembuangan limbah tersebut dengan cara yang aman dan berdampak yang seminimal mungkin; dan

PT Coca-Cola Bottling Indonesia.

PENGEMBANGAN USAHA KECIL

Adanya keterbatasan kemampuan pengusaha di sektor informal (pengusaha mikro) dalam mengelola usahanya mendorong Coca-Cola Bottling Indonesia mewujudkan kepedulian sosialnya dengan memprakarsai program ekonomi kemasyarakatan berbentuk program pengembangan usaha mikro (Coca-Cola Micro Enterprise Development Program).

Program pendampingan dan pendidikan bagi kelompok usaha ekonomi lemah ini diluncurkan pada Juli 2003 lalu dan memiliki dua elemen pokok bantuan.

Pertama, bantuan teknis (technical assistance) pengembangan dan pendampingan usaha mikro yang didukung sepenuhnya oleh Coca-Cola selama satu tahun. Pendampingan ini dimaksudkan untuk memberdayakan anggota kelompok, meningkatkan jumlah tabungan atas kesadaran sendiri, serta mengembangkan kegiatan usaha produktif anggota dan pengembangan jaringan usaha.

Kedua, akses terhadap modal kerja yang diberikan oleh lembaga pembiayaan independen atau bank (diluar Coca-Cola). Pelayanan keuangan mikro seperti ini diberikan hanya bagi mereka yang memenuhi kriteria ketat, antara lain: secara rutin memiliki kesadaran berkelompok dan berkembang dalam kelompok, secara rutin dan tepat waktu menabung, serta berdomisili tetap. Dalam melaksanakan dua pelayanan tersebut, Coca-Cola bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat "Bina Swadaya", sebuah lembaga nirlaba yang berpengalaman dalam mengelola program sejenis di berbagai daerah di Indonesia.

Program ini telah berhasil dikembangkan di Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dan kini telah melayani lebih dari 320 orang pengusaha mikro. Menurut rencana, program serupa akan dikembangkan tahun ini di Propinsi Jawa Timur.

INISIATIF LOKAL LAINNYA


Komitmen sosial Coca-Cola Bottling Indonesia juga diwujudkan melalui berbagai kegiatan sosial lainnya yang dilakukan bagi masyarakat di sekitar pabrik dan kantor-kantor penjualannya di berbagai daerah di Indonesia.

Keinginan untuk membantu meringankan beban hidup sesama, menyantuni yang kurang mampu, dan harapan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, menjadi latar belakang dilaksanakannya berbagai kegiatan sosial, sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Untuk memfokuskan bantuannya, Coca-Cola memfokuskan pada tujuh bidang utama, yaitu: pendidikan, lingkungan, bantuan atas pembangunan infrastruktur publik, event-event nasional dari berbagai organisasi kepemudaan dan pemerintah, kebudayaan, kesehatan dan olahraga, dan bantuan bagi korban bencana alam.

Dibidang pendidikan, misalnya, selain melalui Coca-Cola Foundation Indonesia, Coca-Cola Bottling Indonesia memberikan bantuan beasiswa bagi banyak pelajar Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Setiap tahun Coca-Cola Research Grant juga memberikan bea siswa penelitian bagi mahasiswa S2 dan S3 di beberapa kota besar di Indonesia.

SUMBER : http://www.coca-colabottling.co.id/ina/ourcompany/index.php?act=environmental

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


Pada umumnya perusahaan menyadari adanya tanggung jawab sosial yang harus dipikul. Meskipun benar tidak mustahil ada manajemen yang menganut pandangan bahwa tanggung jawab tersebut terletak pada pemodal, pemilik saham, dan berbagai kelompok lain di perusahaan, namun mereka yang menganut pandangan demikian dapat dikatakan merupakan pengecualian. Artinya, mayoritas mengakui adanya tanggung jawab sosial tersebut dan bersedia menunaikannya. Tanggung jawab sosial itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan justru karena keberadaan perusahaan disuatu lokasi. Tentunya mudah dipahami bahwa tanggung jawab sosial itu beraneka ragam bentuknya. Misalnya, kewajiban perusahaan untuk mempekerjakan warga masyarakat disekitarnya, partisipasi perusahaan dalam pemeliharaan ketertiban dan keamanan lingkungan, penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dapat dinikmati oleh masyarakat, memberikan bantuan keuangan bagi anggota masyarakat yang mengalami musibah seperti banjir, kebakaran, dan kerusakan karena bencana alam seperti gempa bumi. Semua itu merupakan tantangan yang harus dihadapi, bukan karena pertimbangan yang altruistic semata, tetapi sesungguhnya demi kepentingan perusahaan yang bersangkutan juga. Bukanlah kebijakan dan tindakan yang etis apabila perusahaan “mengasingkan diri” dari lingkungannya dan menjadikan warga perusahaan sebagai kelompk yang eksklusif. Perusahaan membutuhkan kepercayaan dan dukungan masyarakat sekitarnya. Perusahaan hanya mampu “merebut” dukungan dan kepercayaan tersebut apabila salah satu tantangan yang harus dihadapi ialah kemampuan manajemen perusahaan untuk mengambil keputusan yang tepat tentang bentuk, jenis, dan intensitas keterlibatannya dalam kehidupan sosial masyarakat sekitarnya. Manajemen harus memutuskan jenis kegiatan sosial di mana perusahaan perlu dan harus terlibat serta bersedia menyisihkan dana untuk kepentingan tersebut. Hal itu perlu dikaitkan dengan tujuan dan berbagai sasaran perusahaan, filosofi yang dianutnya, strategi, dan kemampuannya.

TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.

Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).

Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.

Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.

Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.

Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).

Sejarah singkat

Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.

Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.

Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.

Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.

Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.

Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

Bias-bias CSR

Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.

Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.

Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.

Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.

Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.

Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.

CSR yang baik

CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.

Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.

Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).

Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).

Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.

SUMBER :

  • Siagian, Sondang P, 1996, Etika Bisnis, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
  • http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Aqua

Program Lestari Dari DANONE AQUA Dirasakan Manfaatnya Oleh Masyarakat Terpencil

Megapolitanpos.com : JAKARTA – 13 Oktober 2009: DANONE AQUA hari ini mengumumkan bahwa sejalan dengan salah satu program Millenium Development Goals (MDGs) dari PBB yaitu menyediakan akses air bersih untuk masyarakat, DANONE AQUA telah berhasil memberikan akses air bersih kepada puluhan ribu warga di daerah perkampungan, sebagian besar di kawasan terpencil melalui program LESTARI WASH (Water Access, Sanitation & Hygiene).
Program ini menegaskan posisi DANONE AQUA yang unik sebagai perusahaan yang secara konsisten melakukan program-program sosial untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kontribusi LESTARI WASH terbaru adalah peran sertanya dalam program pemerintah daerah Serang berupa program peningkatan kualitas kampung di desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabubaten Serang yang baru saja diresmikan minggu lalu. Program peningkatan kualitas kampung tersebut mencakup penyediaan rumah, penghijauan dan penyediaan akses air bersih dan sanitasi dimana LESTARI WASH mengambil peranan. Program WASH di Desa Curug Goong yang dimulai Juni 2008 tersebut meliputi dua kegiatan utama, yaitu kegiatan penyediaan akses air bersih dan sanitasi lingkungan yang memberi manfaat besar kepada lebih dari 1.700 warga desa. Sebelumnya warga mendapatkan air bersih dari sumber air yang letaknya jauh dari desa dan belum ada fasilitas yang dibangun untuk memperpendek jarak akses air bersih tersebut.

Yann Brault, Direktur Corporate Social Responsibility (CSR), DANONE AQUA, mengatakan, ”Bekerja sama dengan multi pihak termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpengalaman di sektor pelestarian lingkungan dan air bersih, Rekonvasi Bhumi, DANONE AQUA, warga masyarakat Curug Goong, maupun pemerintahan setempat maka telah terwujud fasilitas-fasilitas air bersih berupa sumur bor, menara air, instalasi pemipaan, fasilitas keran umum dan MCK (mandi-cuci-kakus). Kami telah membangun tiga fasilitas keran umum dan delapan fasilitas MCK yang dilengkapi dengan keran umum pula untuk masyarakat desa. Saat ini kami sedang mempelajari kemungkinan untuk menjalankan program penanggulangan sampah dan pertanian organik di area yang berdekatan, terutama di Desa Cipayung dan Cisaat, Padarincang.”

Program tersebut melengkapi serangkaian program LESTARI WASH lainnya seperti Program Air Bersih untuk Hidup Sehat di kampung Darmaga, Babakan Pari, dengan menyediakan instalasi pompa, penampungan air, fasilitas sanitasi, dan air bagi ratusan warga; Program Satu Liter Untuk Sepuluh Liter di yang sekarang berjalan di Nusa Tenggara Timur dan Timur Tengah Selatan, dimana pada akhir 2011 ditargetkan program ini menjangkau 70.000 orang di seluruh Indonesia.

Binahidra Logiardi, Sustainable Development & Social Responsibility, DANONE AQUA, menjelaskan ”Air merupakan kebutuhan mendasar bagi kita semua, namun tidak semua orang bisa mengakses air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Banyak daerah di berbagai wilayah Indonesia, yang mengalami kesulitan untuk memperoleh air karena topografi daerah tersebut membutuhkan sistem infrastruktur pasokan air agar masyarakat dapat mengakses air bersih. Melalui program LESTARI WASH, DANONE AQUA berkontribusi secara aktif dan berkelanjutan untuk memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penyediaan air bersih di Indonesia”.

LESTARI WASH, yang fokus kepada penyediaan akses air bersih dan kesehatan lingkungan, merupakan bagian dari program CSR (corporate social responsibility) global berkelanjutan AQUA LESTARI yang mulai diterapkan DANONE AQUA sejak tahun 2006. AQUA LESTARI merupakan suatu pendekatan sosial dan lingkungan komunitas yang inovatif serta multipihak dengan tujuan pelestarian lingkungan, terutama sumber daya air dan pemberdayaan masyarakat.

Program-program AQUA LESTARI lainnya meliputi perlindungan sumber air melalui reboisasi (penanaman ratusan ribu pohon di Gunung Merapi, Taman Nasional Gunung Salak, hutan agro organik, termasuk pembibitan), pertanian (model pertanian terpadu, pengairan), pendidikan (penyuluhan, program pendidikan berkesinambungan) dan sosial-ekonomi (pencegahan banjir, pengobatan gratis, khitanan massal). Seluruh program didisain sesuai kebutuhan dari masyarakat dan sejalan dengan panduan ISO 26000 tentang tanggung jawab sosial perusahaan.

Tanggung jawab sosial DANONE AQUA merupakan bagian dari tanggung jawab korporat perusahaan yang memiliki komitmen untuk melindungi sumber air di Indonesia. Oleh karena itu tanggung jawab AQUA bahkan sudah dimulai sejak melakukan penyeleksian mata air karena tidak semua mata air pegunungan bisa menjadi sumber air AQUA.

Wahyu Triraharja, Manajer Pengelolaan Sumber Daya Air DANONE AQUA mengatakan, “Mata air pegunungan kami mewakili sebagian sumber air alami terbaik di Indonesia. Hal ini dikarenakan kami memilih sumber mata air kami dengan seksama. Sumber mata air tersebut haruslah memenuhi kriteria yang sangat spesifik. Jika mata air tersebut memenuhi kriteria awal ini, maka sumber mata air tersebut kemudian menjalani tahap proses seleksi yang mencakup penelitian intensif yang dilakukan oleh beberapa tim ahli serta sesuai dengan peraturan pengelolaan air yang berlaku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua mata air pegunungan bisa menjadi sumber air AQUA.”

Saat ini AQUA memiliki 11 mata air pegunungan di seluruh Indonesia dan masing-masing mata air tersebut dipilih dengan seksama sehingga pelanggan di Indonesia dapat menikmati kebaikan alam setiap saat mereka minum AQUA.( Ahmad Romdoni)

SUMBER : http://megapolitanpos.com/dki-jakarta/717-program-lestari-dari-danone-aqua-dirasakan-manfaatnya-oleh-masyarakat-terpencil.html