Minggu, 31 Oktober 2010

Tulisan Etika Bisnis

Etika Berbisnis

Para pedagang seharusnya tidak saling menjatuhkan bisnis dari pedagang lain. Seperti yang terjadi disebuah daerah, didaerah tersebut terdapat beberapa toko yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti minyak goreng, tepung terigu, gula, kopi dll. Beberapa pedagang menjual barang mereka dengan harga yang sama dengan para pedagang lainnya. Sedangkan salah satu pedagang yang baru membuka toko menjual barangnya lebih murah dibanding dengan para pedagang lainnya. Hal ini membuat para pedagang lama tidak senang karena mereka kehilangan sebagian pelanggan mereka yang lebih memilih toko yang menjual barang lebih murah. Para pedagang lama pun tidak bisa berbuat banyak untuk menarik pelanggannya kembali. Hal ini dikarenakan para pedagang lama tidak bisa menjual barang mereka dengan harga yang sama seperti pedagang baru sebab, harga yang ditawarkan oleh pedagang baru merupakan harga yang sama dimana harga tersebut harga yang dibayar para pedagang lama untuk memperoleh barang-barang yang akan dijual kembali kepada konsumen. Mereka pun jadi serba salah karena jika para pedagang lama menjual barang mereka sama dengan mereka membeli barang tersebut atau sama dengan pedagang baru menjual barangnya. Mereka bisa tidak mendapat keuntungan malah bisa jadi mereka malah rugi karena tidak seimbang dengan pengeluaran mereka untuk membeli barang tersebut. Memang dalam bisnis kita harus bisa menarik pelanggan untuk membeli produk atau barang dagangan kita tapi kita juga harus memikirkan hal-hal lain. Sebaiknya solusi yang harus dilakukan adalah para pedagang lama dan baru membuat kesepakatan mengenai harga jual barang mereka agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Etika Bisnis

Bajakan



Pakaian bermerek tapi bajakan begitu menjamur. Gengsi telah mempertanyakan keberadaannya.
Hanya dengan uang Rp 1 juta pembeli bisa membawa pulang setengah lusin pakaian keren, dari kemeja Calvin Klein hingga jins Giorgio Armani.
Menurut Azhar, sebagai remaja berduit pas-pasan tapi ingin tampil gaya, pemecahannya ya memburu merek bajakan. Motivasinya, sekedar ingin memenuhi kebutuhan tampil gaya, mengikuti tren yang sedang in. Karena tak akan dipakai untuk jangka waktu lama, maka tak ada alasan baginya untuk membeli merek asli.
Tak ada kompromi untuk barang bajakan. Begitulah sikap Samuel Mulia pengamat mode kondang itu. “Itu pemalsuaan.” tutur dia keras. “ Lalu, apa bedanya dengan pencurian?
Ia justru heran, mengapa Negara mengakomodasi para pemalsu. Suburnya FOFO, yang notabene menjajakan barang tiruan, adalah keabsurdan itu.
Ia juga tak yakin maraknya barang tiruan ditujukan untuk mengakomodasi kelas menengah ke bawah agar tetap mampu memiliki produk branded. Ada cerita soal tas keren merek Ernest.
Tas merek ini harga aslinya mencapai belasan juta rupiah. Sementara barang bajakannya 3-5 juta. “Toh produk bajakannya tetap laku keras. Padahal 3-5 juta kan tidak murah. Jadi tidak betul kalau produk bajakan untuk memperlebar ruang penetrasi konsumen menengah kebawah. Intinya orang ingin beli merek.” Kata Samuel
Kecenderungan membeli barang bajakan ini juga dinilai anah. “Kamu ingin dianggap kaya oleh orang lain lewat barang bermerek yang kamu beli. Padahal kamu tidak benar-benar kaya. Ini kan menipu diri sendiri,” tutur dia.
Ia juga percaya jika ada perusahaan fashion ternama yang sengaja membikin produk kelas dua, yang ditujukan agar masyarakat kelas menengah kebawah dapat pula membelinya. Yang ada, kata Samuel adalah diversifikasi.
Contohnya jins Armani asli, yang kalau dirupiahkan harganya bisa puluhan juta. Untuk menekan harga, produsen Armani sengaja meluncurkan produk yang lebih mild, dalam label Emporio Armani atau Black Label. Keduanya lebih murah, namun seratus persen produk asli Armani, meski kualitasnya sedikit berbeda. Atau Donna Karan, yang merilis produk DKNY sebagai diversifikasinya.
Sumber : Harian Republika, 9 September 2006, hal 22

Tugas Etika Bisnis

Cengkeh


Jatuhnya taraf kehidupan para petani cengkeh di berbagai sentra industri sulit dipungkiri secra dominant merupakan dampak penerapan tata niaga cengkeh nasional yang pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC). Atau lebih khusus lagi, petani cengkeh menjadi korban tarik menarik kepentingan antara Negara (baca : pemerintah) dan BPPC dengan pabrik rokok (swasta). Ide, diterapkannya tata niaga cengkeh, harus kita akui : mulia. Karena awalnya tata niaga cengkeh ini memang dimaksudkan untuk mendongkrak kesejahteraan petani yang berposisi lemah, karenanya mempunyai bargaining power yang rendah terhadap pabrik rokok, dengan memanfaatkan monopoli oleh Negara seperti disyarakatkan oleh UUD 1945.
Namun, penyerahan monopoli dari Negara kepada swasta (BPPC) kendati datang dengan harga yang lebih “tinggi” dari harga pasar, ternyata dalam implementasinya lebih mengedepankan kepentingan bisnis BPPC sembari memperkuat kontrol pemerintah terhadap pabrik rokok. Dan karena BPPC mensubkontrak-kan lagi pelaksanaan monopoli dilapangan, mata rantai tata niaga semakin panjang. Padahal, panjang atau pendeknya mata rantai itu berpengaruh atas besar kecilnya “biaya distribusi” yang harus dikeluarkan. Dengan demikian, mata rantai yang panjang secara logis tidak mampu menghubungkan antara produsen dan konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya.
Rupanya untuk menutup biaya distribusi yang harus dikeluarkan ditambah dengan kepentingan oknum anggota BPPC yang masih menyimpan stok besar untuk di lempar ke pasar, maka diberlakukan “perhitungan ekonomis” (cost and benefit structure) pengusaha swasta. Yaitu, menekan harga pembelian dari petani hingga serendah-rendahnya (memang patokan harga beli yang diumumkan, tinngi, tetapi sebagian dari harga tersebut “wajib ditabung”) dean mendorong harga jual pada pembeli (pabrik rokok) hingga setinggi-tingginya. Petani tidak mempunyai pilihan. Mereka harus menjual cengkehnya pada “pedagang” yang ditunjuk oleh BPPC sebagai perpanjang tangannya. Karena, menjual pada pedagang bebas “diharamkan”. Bagi pabrik rokok yang membeli cengkeh tidak dari BPPC pun dapat dikenakan tindakan hukum.
Kondisi itu semakin parah ketika pihak-pihak yang menjadi perpanjang tangan BPPC ternyata tidak banyak berinisiatif untuk menekan biaya distribusi. Sedangkan KUD acap tidak siap dengan dana untuk mengadakan pembelian dengan harga patokan BPPC. Tetapi anggota BPPC yang bukan petani, tetapi memang dari sebelum berdirinya BPPC, pedagang cengkeh swasta, bisa melemparkan sisa stoknya yang besar dengan harga patokan tinggi, tanpa harus “wajib menabung” seperti petani, sehingga oknum-oknum tersebut menerima pembayaran dengan keuntungan yang besar, karena floor price yang tinggi tadi.
Dalam suatu proses produksi, dimana harga jual ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar, akan mendorong para petani untuk memperluas kebun cengkehnya dan belum menanam cengkeh akan menanamnya, karena teriming oleh selisih harga yang besar. Akibat logisnya adalah : suplai cengkeh jauh diatas permintaan. Dan dengan sendirinya : harga cengkeh “melorot” turun.
Pada gilirannya, langkah bisnis tersebut merupakan pemaksaan kehendak pada orang lain. Karena, penetapan harga atau kebijakan lainya (termasuk pemusnahan sebagian tanaman cengkeh) nyaris tidak pernah melalui proses musyawarah demi menjujung tingginya kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan. Prinsip keadilan terhadap sesamanya juga tak tercermin dalam langkah bisnis ini. Demikian dengan penghormatan pada hak orang lain seperti diisyaratkan oleh nilai keadilan sosial dalam Pancasila.
Dalam kerangka demikian, niat tata niaga cengkeh yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup petani tidak tercapai. Bahkan, berlakulah bisnis yang bertentangan dengan etika bisnis yang mestinya berlaku secara universal. Yakni, wajah bisnis yang serakah dan tamak (greed and avarice), melulu mengejar keuntungan, materialistis serta selalu terlibat dalam berbagai praktek korupsi.

Sumber : Rosita S. Noer, 1998, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.